Senin, 23 Januari 2012

Timbunan Harta Tak Ternilai di Israel


By. Josua Sihotang
22 Januari 2012



  Perdana Menteri Israel ke-4 Golda Meir pernah berkata, "Jika saja Musa mengambil langkah ke kanan dan tidak ke kiri disaat ia memimpin bangsa Yahudi di lembah Sinai, bangsa Yahudi akan memiliki sumber minyak; dan bangsa Arab akan hanya punya tanaman jeruk."
  Perkataan humoris itu sebagai reaksi kebutuhan energi Israel, dimana negara-negara tetangga memiliki sumber energi milyaran barrel cadangan minyak seperti: Arab Saudi 262,2 milyar; Iran 136,3 milyar; Irak 115 milyar; Kuwait 101 milyar; Uni Emirat Arab 97,8 milyar; dan Libia 41,5 milyar. Negara-negara ini  secara efektif menggunakan cadangan minyak mereka sebagai senjata mempengaruhi negara-negara Barat untuk melawan Israel. Meskipun demikian, realitanya mungkin akan berubah.

  Selama bertahun-tahun, misi dari Zion Oil & Gas yang berbasis di Texas dipercaya hanya sekedar sebuah mimpi, harapan yang sia-sia  dari ideologi Christian Zionis. Namun Matt Dickerson dari Zion Oil & Gas berkata bahwa satu dari perusahaan pengeboran di Israel memonitor adanya indikasi hidrokarbon, suatu elemen organik yang biasanya muncul di minyak mentah.
  Israel telah berhasil menemukan area  gas alami yang tak ternilai, akan tetapi saat ini dipercaya bahwa kandungan di bawah gas tersebut terdapat minyak. Jauh di dalam lapisan dimana Zion Oil & Gas dan beberapa perusahaan lain saat ini mentargetkan pengeborannya.
  Dedikasi Zion Oil & Gas di Israel telah menjadi kepercayaan pemerintah Israel dalam membantu kebutuhan energi yang masih bergantung kepada Mesir dan Rusia. Zion Oil & Gas beberapa waktu lalu berhasil memenangkan proposal eksplorasi di bagian utara Lembah Yordan, sebuah area seluas 22662 ha. Bersamaan  dengan Lisensi Joseph dan Lisensi Ashermenashe, Lisensi Lembah Yordan kini menjamin Zion Oil & Gas untuk mengebor lebih dari 88221 ha di bagian utara Israel.

  Dr. Ya'akov Mimran, mantan komisioner petroleum Israel menjelaskan di jurnal bisnis Israel "Globes", ia sangat optimis mengenai dua penemuan gas dan minyak tersebut. "Kita dalam di jalur yang benar. Saya  juga yakin Zion Oil & Gas mampu mengebor lapisan terdalam."
  World Energy Council memperkirakan bahwa Israel bisa memproduksi 250 milyar barrel minyak, dimana mendekati cadangan minyak yang dimiliki Arab Saudi.

   Penemuan sumber minyak yang lain yaitu tidak berupa cairan akan tetapi padat, artinya ada di dalam serpihan batu (shale). 30 mil baratdaya dari Yerusalem terletak lembah sungai Shfela, dimana terdapat endapan terbesar kedua di dunia dari shale minyak tersebut. Walaupun Israel telah lama eksis dalam shale minyak, namun belum dapat mengekstrak minyaknya karena biaya dan potensi negatif terhadap lingkungan. Majalah Business Weekly menulis, "Shale minyak melukai banyak hati" karena sulit untuk mengekstrak minyaknya secara aman dan menguntungkan.
  Howard Jonas, seorang dermawan Zionis dan juga penemu IDT Corporation berkata, bahwa ia percaya cadangan minyak di Israel lebih dari Arab Saudi, namun  banyak perusahaan minyak enggan untuk mengeksplorasi bisnis minyak di Israel karena takut  mempengaruhi hubungannya dengan supplier minyak yang dikontrol Muslim. 
Ia menyebutkan beberapa investor dan pengusaha minyak yang enggan walaupun berhubungan erat dengan Israel:
Rupert Murdoch (pemimpin News Corporation Empire), Michael Steinhardt (investor, Zionis dan juga dermawan), Lord Jacob Rothschild (banker dan juga dermawan dimana keluarganya menyuport Zionisme), Eugene Renna (dahulu adalah presiden dan chief operating officer Mobil Corporation dan pensiunan eksekutif Vice President ExxonMobile), Allan Sass (mantan Occidental Oil Shale Presiden, cabang Occidental Petroleum), Dick Cheney (mantan Wakil Presiden US dan mantan Presiden  Halliburton).
   Kemudian Jonas membujuk Dr. Harold Vinegar, pensiunan kepala ilmuwan Royal Dutch Shell, untuk memimpin tim ini. Vinegar merintis  ekstraksi minyak dari batu dan memegang 240 paten. IEI  percaya hal tersebut, dibawah kepemimpinan Vinegar, mengekstrak minyak akan berharga $35 hingga $45 per barrel dan akan menjaga lingkungan tetap aman.
  Para investor Wall street sepertinya setuju. Melalui Israel Energy Initiatives, saham IDT- 66 cent per share- naik hingga $20 per share. Bukan hanya para investor yang memperhatikan hal ini. Negara-negara Asia dan Eropa, konsumen baru Israel semenjak penemuan dan produksi gas alami Israel ditemukan, juga ikut memperhatikan.
  Jika teknologi Israel dapat mengekstrak minyak shale nya sendiri secara aman dan murah, hal itu dapat membantu mengekstrak hingga 2 triliun barrel minyak shale di seluruh dunia. Bayangkan implikasi ramalan akan Israel sebagai world-class produsen minyak. Golda akan tahu: Musa melakukan hal yang benar.

  Kedua penemuan itu merupakan beberapa penemuan selama 3 tahun terakhir di Israel, setelah pada tahun 2010 sebuah timbunan gas besar, bernama Leviathan, ditemukan 139 km pesisir utara Israel. Diestimasi sebesar 450 milyar cm gas, sebuah penemuan yang memiliki potensi membuat Israel sebagai eksportir gas alam, demikian dikatakan presiden Nobel Energy, perusahaan berbasis Houston dibalik penemuan tersebut. Berdasarkan para ahli geologi, Leviathan mungkin bukan hanya satu-satunya timbunan dan lahan lain mungkin juga dapat ditemukan di Eastern Mediterranean hingga daerah barat Siprus Yunani dan hingga daerah utara Siria. Namun penemuan ini tidaklah semudah yang dibayangkan, karena ketika laporan ini dipublikasikan membuat Libanon bereaksi, dengan mengklaim bahwa timbunan itu berada di perbatasan maritim, sehingga menimbulkan masalah eksport gas.

  Melihat apa yang dimiliki Israel saat ini, janji Tuhan sejak Abraham hingga kini semakin nyata. Di Ibrani 6:13-14 tertulis, Sebab ketika Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham, Ia bersumpah demi diri-Nya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari pada-Nya, kata-Nya: "Sesungguhnya Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan akan membuat engkau sangat banyak."  Namun sentimen terhadap Israel semakin kental, dari bangsa-bangsa Arab hingga United Nation, dari boikot produk-produk Israel hingga ancaman embargo, semua mengarah kepada nubuatan Alkitab dimana Tuhan tidak akan melanggar perjanjianNya dengan anak-anakNya.

Jumat, 20 Januari 2012

Jurnalis Saudi: Polisi Agama Membiarkan 15 Murid Perempuan Mati Terbakar Karena Tidak Memakai Hijab


19 Jan 2012


Dalam interview yang disiarkan oleh Dream2TV Mesir pada 10 Januari lalu, Jurnalis Saudi Nadin Al-Badir menceritakan kembali perlakuan kejam hingga pembunuhan yang mengerikan - termasuk memaksa lebih dari satu lusin anak-anak perempuan sekolah terbakar hidup karena tidak memakai pakaian resmi tradisional Islam penutup kepala pada saat kejadian - dilakukan oleh polisi agama setempat atau dinamakan "Otoriti Untuk Kebijakan Promosi" (Authority for the Promotion of Virtue). Jurnalis tersebut juga menyatakan bahwa kebanyakan dari polisi-polisi itu adalah mantan pelaku kriminal baik itu pemakai obat-obat terlarang atau pengedar.

Al-Badir menjelaskan, "Bahkan Sheik Abd Al-Muhsen Al-Abikan, penasehat pengadilan negara menyarankan bahwa Otoriti tersebut seharusnya dibubarkan." Ia menambahkan, "Ia berkata bahwa kebanyakan dari mereka dulunya adalah pengedar obat-obat terlarang, juga pemakainya, pencuri dan mantan kriminal jalanan yang telah bertobat secara tiba-tiba dan kini lebih ekstrim kasar. Orang-orang ini, menurut Sheik Al-Abikan, seharusnya tidak diijinkan memiliki akses di setiap otoritas, karena mereka melakukannya dengan cara yang tidak benar."

Di segmen awal, Al-Badir menceritakan kisah 28 tahun Hassan Nabil Hmeid, yang dipukul berkali-kali hingga mati karena membiarkan rambutnya hinga panjang.
"Pada akhirnya, semua hal yang mereka tuju adalah sesuatu yang dangkal." Al-Badir mengatakan, "Yang pasti bahwa hidup laki-laki ini berakhir akibat orang-orang yang sensitif untuk bereaksi, yang ingin membawa jaman ini kembali ke ratusan tahun yang lalu. Saya tidak percaya situasi pada saat itu lebih buruk dari yang mereka inginkan terjadi."

Al-Badir juga mengingatkan akan insiden mengerikan ini ketika kebakaran terjadi di sekolah perempuan Arab Saudi itu, akan tetapi seluruh murid perempuan yang ada di dalam dipaksa untuk tinggal di dalam gedung yang terbakar hingga mereka juga ikut mati terbakar, karena mereka tidak memakai hijab.
"Akan lebih mudah untuk memadamkan api tanpa seorang pun terluka. Tetapi anggota dari Otoriti itu berdiri di depan pintu dan mencegah murid keluar, dikarenakan para murid sedang tidak memakai hijab."
"Bagaimana mereka bisa memakai hijab ketika sekolah sedang dilalap api?" lanjutnya. "Mereka juga mencegah orang tua untuk masuk ke area."
"Akan tetapi adalah sebuah kewajiban untuk menyelamatkan mereka dari kematian. Siapa yang peduli kalau mereka memakai abaya atau tidak? Misi mereka adalah menyelamatkan orang dari api neraka, bukan dari kematian," Al-Badir merespon. "Mereka percaya bahwa anda akan mati secara martir. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka saat itu."Al-Badir melanjutkan:
Saya bicara tentang murid sekolah usia 13 tahun, bukan mahasiswa. Mereka ini murida perempuan. 15 murid mati akibat Polisi Otoriti tersebut, bukan karena api. Mudah saja para murid diselamatkan. Apakah anggota Otoriti itu diadukan ke pengadilan? Tidak yang saya lihat. Departemen Pendidikan untuk Anak Perempuan dianeksasi ke Kementerian Pendidikan, namun Otoriti tidak pernah bertanggung jawab. Menghukum, tapi tidak pernah dihukum sendiri. Anda tidak pernah bisa mendapatkan keadilan. Bahkan jika mereka menusuk atau membunuh Anda, tidak ada yang bisa menahan mereka bertanggung jawab. 
Al-Badir berkata, komplain yang telah diajukan terhadap Otoriti menjadi sia-sia, dimana tidak ada aksi pengadilan telah diambil. Ia juga menggarisbawahi bahwa rata-rata dari "semua bentuk tindakan pelecehan seksual adalah yang tertinggi."
"Otoriti itu adalah musuh masyarakat. Bagaimana bisa mencegah hal itu??

Sumber :

Rabu, 11 Januari 2012

Pengungsi Palestina Akibat Konflik


By. Josua Sihotang
10 Jan 2012



Di bulan Mei 1948 populasi lokal Arab bergabung dengan 7 negara-negara Arab (Lebanon, Siria, Mesir, Yordania, Irak, Arab Saudi dan Irak) sebagai aksi untuk  menghancurkan pendirian kembali negara baru Yahudi.
Negara-negara tersebut menjanjikan kemenangan bagi penduduk lokal Arab tersebut yang pada kenyataannya berakhir dengan kekecewaan. Sekitar 500 ribu penduduk Arab itu mengungsi ke Yordania, Lebanon dan Siria.

Angka itu tidak sebanding dengan jumlah 850 ribu pengungsi Yahudi dari Yaman, Mesir, Iran, Irak, Maroko, Algeria, Tunisia dan Libia yang dipaksa keluar dari rumahnya. Yahudi tidak diakui kewarganegaraannya, hingga milik properti mereka juga ikut disita.

Kebalikannya, 160 ribu penduduk Arab saat itu disaat Israel diakui kedaulatannya di tanah mereka justru diperbolehkan menetap. Angka itu kini telah mencapai 1,25 juta dan memperoleh hak-hak penuh sebagai warganegara yang tinggal di Israel.

Kini justru muncul pertanyaan, pernahkah kita mendengar "kampung pengungsi Yahudi"?
Sepertinya tidak. Karena mereka diterima di negara-negara non Arab seperti USA dan Eropa. Kontras dengan keadaan pengungsi-pengungsi Palestina yang tidak diterima baik di negara-negara Arab lain. Jumlah 500 ribu itu kini membengkak hingga 4,7 juta. Faktanya sangat menyedihkan, misalnya ; tidak menerima status warganegara (kecuali di Yordania), dihalang-halangi untuk bekerja sebagai profesional, restriksi akan kepemilikan properti tanah, restriksi berkendaraan dan penolakan akan pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Sir Alexander Galloway (1895-1977), mantan direktur UNRWA (Badan untuk pengungsi Palestina) di Yordania bereaksi keras terhadap diskriminasi ini,
"...bangsa-bangsa Arab tidak ingin menyelesaikan masalah pengungsi Arab. Mereka ingin membiarkannya sebagai 'luka terbuka' sebagai senjata untuk melawan Israel.." (April 1952)
Pernyataan itu semakin diperkuat oleh Presiden Mesir Nasser, yang menganggap penolakan pengungsi-pengungsi Palestina itu akan memaksa mereka kembali ke Israel, sehingga akan menjadi benalu dan merusak Israel dari dalam dengan menanamkan rasa kebencian di setiap generasi pengungsi,
"..jika pengungsi-pengungsi itu kembali ke Israel, Israel akan habis.." (1 Sep 1960)

Lalu apa peran PBB saat itu? Sayangnya nyaris tidak ada. Di saat semua kasus yang berhubungan dengan pengungsi berada di bawah naungan UNHCR, badan khusus untuk pengungsi Palestina UNRWA justru dibentuk. Dengan harapan para pengungsi Palestina mendapat jaminan kehidupan baru dari UNRWA seperti yang dilakukan UNHCR terhadap pengungsi-pengungsi Bosnia atau Sudan malah berujung kekecewaan.
Misalnya;
  • Melalui UNHCR status pengungsi akan berubah menjadi warganegara di negara yang menerima, melalui UNRWA sebaliknya
  • Melalui UNHCR, para pengungsi tidak dapat mewariskan status pengungsi dari generasi ke generasi, melalui UNRWA bisa
  • UNHCR mendukung pengungsi untuk berintegrasi di negara yang baru, UNRWA justru mencegah kebijakan tersebut
Di lain hal, sebelum pembentukan PA(Palestinian Authority), negara-negara Arab menunjuk ke dilema pengungsi Palestina sebagai simbol konflik, menggunakannya sebagai perangkat untuk mengalihkan perhatian dari kelemahan domestik mereka. Gagasan pengembalian penuh ke rumah mereka telah tertanam dalam jiwa pengungsi Palestina. Hari ini, dengan generasi ketiga dari pengungsi Palestina menuntut pengembalian penuh, masalah ini semakin campur aduk. Sedangkan pada tahun 1950, hanya ada lebih dari 700.000 pengungsi yang terdaftar, sekarang jumlah ini hampir lima juta.

Jika pengembalian penuh itu terjadi, para pengungsi ditambah warga Palestina Israel akan melebihi jumlah Yahudi Israel. Meskipun dalam negosiasi sebelumnya dengan Israel, Palestina menerima kembalinya sejumlah pengungsi di bawah reunifikasi keluarga, mereka tetap dituntut untuk mempertahankan prinsip "hak untuk kembali" dalam setiap perjanjian damai. Khawatir bahwa suatu hari nanti dapat menghidupkan kembali Palestina isu "hak untuk kembali", Israel terus menolak setiap referensi untuk itu untuk memastikan mayoritas Yahudi yang berkelanjutan dan mempertahankan identitas negara Yahudi.

Dengan biaya pengeluaran yang 3 kali lebih besar dari UNHCR, UNRWA praktis tidak menyumbangkan solusi atau kontribusi bagi jutaan pengungsi. Ironis bagi pengungsi-pengungsi Arab abad 20 ini, di saat mereka terjebak antara kepentingan pemimpin-pemimpin Arab yang menolak saudara-saudara mereka sendiri dan UNRWA yang tidak bersandar kepada prinsip universal terhadap para pengungsi.

Inikah keadilan?