Rabu, 27 Maret 2013

Afrika dan Siprus Membuka Diri Bagi Imperialisme Modern


By. Josua Sihotang
26 Maret 2013    


     Presiden China Xi Jinping menguraikan ambisinya kemarin pada permulaan tour 3 negaranya dimana terlihat seperti sebuah signal kehausan dari negaranya akan sumber-sumber daya alam. Presiden Xi terbang ke Tanzania kemarin, dan ia berharap untuk menandatangani persetujuan "trade and developments" sebelum memberikan pidato di Dar es Salaam.
Kemudian ia akan bergabung dengan pemimpin-pemimpin dari Brasil, Rusia dan India di Afrika Selatan dalam konferensi di Durban untuk menyampaikan formasi dari suatu bank internasional sebagai rival dari IMF (International Monetery Bank) dan World Bank. 

    Pada hari terakhir, Presiden Xi akan mengunjungi "mineral-rich" Democratic Republic of Congo. Agen berita China Xinhua memberi judul kunjungan ini "China adalah sahabat Afrika sepanjang sejarah." Akan tetapi beberapa grup waspada terhadap hal ini. Mwalimu Mati, kepala Mars Group yang berbasis di Nairobi berkata: "Tidak ada yang berbeda apa yang China lakukan dan Negara Barat lakukan sebelumnya. Tidak ada negara yang menolong negara lain untuk berkembang dengan gratis. Afrika adalah ladang usaha bagi China. Kehadirannya disambut dengan tangan terbuka karena hubungan erat kadang tidak mengikutsertakan percakapan tentang "good governance", korupsi dan "human rights." 
Para analist mengestimasi bahwa China membelanjakan $101 billion di 27 negara Afrika dari tahun 2010 hingga 2012, untuk transportasi jalan dan kereta, pusat-pusat tenaga dan pertambangan.
Namun, kepala Bank Sentral Nigeria Lamido Sanus menulis di Financial Times: "Jadi, China mengambil  barang-barang kami dan menjualnya kembali kepada kami dalam bentuk manufaktur. Ini juga adalah bagian dari kolonialisme. Kini Afrika dengan sukarela membuka diri bagi suatu bentuk baru dari Imperialisme. 


    Di negara bagian lain, hal yang senada juga terjadi. Minggu yang lalu, salah satu anggota Europe Union Siprus mulai memasuki jalur kebangkrutan, setelah sebelumnya Yunani, Portugal dan Spanyol berada pada urutan teratas.

    Sebuah 10billion euro bailout memerlukan 9.9% pajak terhadap semua orang yang memiliki deposit lebih dari 100,000euro, dan 6.75% kurang dari 100,000euro. Nasabah yang kehilangan uang akan dikompensasi dalam bentuk saham di bank-bank komersil, dengan jaminan kembali yaitu pendapatan di masa mendatang yang diharapkan didapat dari penemuan-penemuan sumber natural gas.

    Presiden Siprus dipilih pada awal minggu bulan ini sebab ia menjanjikan tidak ada "wealth tax". Berdasarkan sebuah laporan, IMF dan European Union menuntut 40% wealth tax bagi para nasabah di Siprus. APa yang terjadi di Siprus? Pengangguran hanya setengah dari Yunani dan Spanyol, hutang terhadap GDP 87%. Bandingkan dengan US yang memiliki hutang 100% terhadap GDP.

    Ini lagi-lagi sebuah imperialisme ekonomi, suatu pelanggaran fundamen pada hak-hak properti, mendikte negara-negara kecil oleh kuasa-kuasa asing. Bank Sentral Eropa tidak punya uang, hanya menukar kertas dengan aset-aset. Bank Cypriot mendapat masalah setelah menggunakan 4.5billion euro pada "goverment bond holdings" sesudah pemimpin zona Eropa memutuskan untuk menulis cek bagi Yunani tahun kemarin.
Presidan Siprus berkata, jika ia tidak menyetujui pajak deposit Bank Sentral Eropa akan menghentikan dana emergensi yang akan mengarah runtuhnya sistem perbankan, bangkrutnya ribuan bisnis-bisnis kecil, kehilangan pekerjaan dalam jumlah besar dan akhirnya keluar dari euro.