Senin, 26 November 2012

Surat untuk Pemimpin Legislatif


25 November 2012

Yang saya hormati bapak pemimpin,

Saya sangat terkejut dengan kritikan yang bapak lontarkan pada tanggal 22 november lalu.
Secara pribadi alangkah menyedihkan, sebagai pelajar dan calon penerus bangsa justru menerima kritikan pedas, ironisnya tidak berbasis sama sekali dan terlebih lagi datang dari seorang pemimpin lembaga perwakilan rakyat.
Muncul dalam benak saya, kenapa tidak mengkritik badan yang berfungsi sebagai pembimbing, penasehat dan pelindung proses akademika di luar negri, jika (seandainya) ada hal-hal yang bersinggungan dengan hak-hak kelegislatifan?
Bukankah pada saat acara temu muka dengan anggota-anggota legislatif pada bulan April 2012 dan pertemuan dengan DIN minggu lalu para perwakilan PPI Jerman diperkenankan untuk ikut hadir dan memberikan saran dan kritik?
Sebaliknya, apakah pelajar yang juga rakyat tidak layak untuk mengkritik pemerintahnya bahkan itu seorang presiden pun?
Melalui surat ini, ingin saya berbagi cerita dengan bapak,  minimal bapak akan mengerti bahwa kami bukan maling.

Perlu dipahami, pemikiran selaras yang berorientasi untuk belajar kritis sebagai usaha untuk membangun individual yang kuat dan berpandangan positif ini tidak begitu saja terbentuk. Tersebar di 16 region dan ratusan kota, anggota PPI Jerman dengan latar belakang pendidikan yang berbeda mampu menghimpun dan mempersatukan kembali para pelajar, calon pelajar bahkan mantan pelajar yang sempat terkotak-kotak. Gagasan ini tak lepas dari peran serta para alumni atau katakanlah rakyat Indonesia yang telah lama berdomisili di Jerman. Keterlibatan mereka berperan aktif dalam tatanan organisasi baik langsung maupun tidak langsung.

Seringkali ketika saya berada di tengah-tengah mereka merasa jengkel, karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selalu sama ; "bagaimana keadaanmu?", "bagaimana kuliahmu?", "berapa lama lagi selesai?", "apa yang bisa dibantu?". Betul, hal ini akan ditemui dimanapun kita sebagai orang Indonesia berada, rasa kekeluargaan dan saling memperhatikan satu dengan yang lain sudah mendarah daging dalam tiap pribadi Indonesia. Akan tetapi, yang menarik justru ketika mereka sisipkan cerita-cerita pengalaman hidup mereka semasa kuliah. Hambatan dan tantangan yang ditemui baik dari pembimbing, profesor atau 'Ordnungsamt' (kantor urusan visa) menjadi kebiasaan tiap tahun. Mereka akui, hal-hal demikian membentuk kepribadian menjadi tangguh dan kreatif serta dinamis. Anehnya, peran organisasi lebih mendominasi setiap langkah yang diambil. Bagaimana mungkin? Seandainya dalam lingkup akademis, seperti memberi asist atau saran atau sejenisnya saya setuju.

Ah...
Jadi saya teringat lelucon orang jawa menyebutkan sila ke-4 Pancasila ; "mangan ora mangan sing penting ngumpul". 
Tak bisa dipungkiri, semua kegiatan PPI baik seminar, pesta perayaan, pesta budaya bersifat klise. Apapun acaranya, apapun makanannya, dimanapun berada yang penting kumpul! Nuansa kebersamaan kadang sering membuat hidup 'lebih berarti', bak perangkat elektronik yang sudah waktunya untuk di-charger kembali.
Secara visual, pernyataan misi dan tujuan organisasi bukan hanya di atas kertas. Para anggota secara konsisten juga dibekali pemahaman untuk mengkader dirinya sendiri, yaitu diberikan wawasan cara berpikir, pengetahuan dan ilmu-ilmu sosialisasi yang tidak dipelajari di bangku akademis.

Disamping itu, keunikan dari proses belajar di jerman memang tak bisa ditemui di bagian negara lain. Para pelajar dididik untuk mandiri dan percaya diri, hal yang kurang dari proses pengembangan kepribadian di tanah air. Apalagi bicara tentang kedisiplinan, pelajar di jerman dapat diuji keefektifan dalam menggunakan waktu. Contohnya, pintu kereta atau trem atau bus akan tertutup ketika waktu telah menunjukan jadwal keberangkatan, tanpa deviasi 1 detikpun! Entah anda seorang presiden pun, aturan tetap berlaku di lapangan.
Waktu adalah hal yang sensitif di jerman, bahkan diakui sebagai pelajar akan lebih takut datang tidak tepat waktu daripada harus membatalkan janji. Belum lagi dalam proses belajar mengajar, anda diharapkan aktif dengan menyampaikan saran atau pendapat di kelas. Pernah suatu kali saya bercakap-cakap dengan pelajar jerman. Mereka menyarankan jika dalam penyampaian pendapat usahakan sekritis  dan sesimple mungkin dan tanpa basa basi. Ah indahnya demokrasi, pikir saya...

Saya kira apakah kritikan itu valid atau tidak bukanlah masalah. Setiap orang bisa saja menjadi alat media selama itu tidak komersial. Ini bukan hal yang baru bagi PPI, meliput suatu berita dan membungkusnya dalam kemasan yang menarik, baik berupa video maupun artikel. Dalam eksistensinya, PPI Jerman bukan tipe organisasi cheerleader yang hanya senang meramaikan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan internal maupun eksternal dan cenderung apatis terhadap isu-isu yang beredar. Wujud tatanan 'social society' di Jerman berdampak kuat terhadap pertumbuhan dan perkembangan karakter individual, sehingga elemen-elemen demokrasi mudah diserap dan diaplikasikan dalam lingkungan sehari-hari. Sudah seharusnya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia adalah tugas dan kewajibannya untuk menyampaikan berita yang transparan semacam ini kepada khalayak di tanah air. Bahkan perlu dihargai hasil kerja keras para pelajar, yang fungsi dan tugasnya dalam belajar masih bisa diimbangi dengan misi di luar pendidikan, terutama yang berhubungan dengan kebangsaan. 


Jika seandainya, bapak menyalahkan kami karena mengikuti dan mengawasi kegiatan anggota legislatif di sini, lalu apa bedanya dengan fotografer atau reporter atau paparazzi? Apakah mereka lebih pantas daripada kami?
Jika seandainya kami sok tahu dengan kinerja para anggota legislatif, lalu bagaimana bisa bapak-bapak bisa berada di tempat yang salah dan berhadapan dengan orang-orang yang bukan bidangnya? Dalam hal ini patut disayangkan sikap DIN yang dengan mudahnya menerima kunjungan anggota-anggota legislatif tanpa persiapan matang.
Jika bapak mengkritik kami yang terlalu kritis, mungkin bapak perlu mempelajari kultur sejarah Jerman dan hidup di antaranya.
Sejarah kelam Weimar Republik diikuti Naziisme merupakan pemicu kebangkitan Jerman di era 1960an hingga saat ini, Salah satunya berkat usaha pemerintahnya membentuk masyarakatnya untuk menjadi individu yang kuat tanpa mengenyampingkan sisi kooperatif namun tidak kompromis. Orang Jerman pun dicap pribadi yang kaku dan intoleran. Tapi tunggu, lihat hasilnya...negara mana yang bisa tetap stabil seperti Jerman saat ini? Di saat US$ ambruk, Jerman masih bisa mem'bail out' tetangganya. Di saat industri-industri di negara Barat bangkrut, Jerman malah mencari 90ribu insinyur hingga periode 2015.
Itu bukan karena mutlak peran pemerintahnya, tapi karena ketangguhan rakyatnya, akan watak karakternya yang terbentuk dari pendidikan dasar hingga lanjut.
Jadi, alangkah adilnya jika bapak melayangkan kritik kepada pemerintah Jerman, yang telah mendidik kami berpandangan kritis!

Perlu bapak ketahui, keputusan untuk sekolah ke Jerman bukan berada di tangan kami. Orang tua kami yang memutuskan untuk menyekolahkan kami, bukan sekedar karena mereka percaya bahwa mereka juga punya kontribusi dalam pemasukan negara, tapi karena semata keinginan untuk mengecap pendidikan dengan kwalitas dan sarana yang baik adalah impian semua orang, apalagi jika bea pendidikan itu murah (bahkan 0).
Pernahkah bapak berpikir, hal yang sama juga dilakukan oleh kolega-kolega bapak ketika memutuskan untuk menyekolahkan anak-anak mereka keluar negri?

Semua pihak pasti percaya, bahwa antara pemerintah dan rakyatnya pasti diinginkan hubungan yang positif dan transparan, dan dalam mewujudkannya satu dengan lainnya dituntut kesediaan untuk mendengar melalui saluran verbal maupun nonverbal, karena masing-masing merasa telah melakukan tugas dan kewajibannya. Tentu saja untuk menentukan nasib bangsa hasil keluaran tersebut adalah bahan baku dasar kesuksesan. 
Ini bagian dari demokrasi, tapi justru membuat saya kawatir, ketika proses-proses demokrasi semacam ini tidak dapat diaplikasikan. Saya kawatir, apabila warna demokrasi berubah menjadi 'Demo-crazy'. Saya kawatir jika demokrasi hanya berupa judul sampul buku semata.

Saya teringat kata-kata dari Thomas Jefferson,
“When the people fear the government there is tyranny, when the government fears the people there is liberty.”
Pada hakekatnya, rakyat berhak dan wajib mengawasi jalannya pemerintahan tanpa perasaan takut apalagi enggan. Saya, bapak dan semua rakyat Indonesia pasti setuju, bahwa peran strategis pelajar ditunggu, dengan kesatuan visi, tekad dan perjuangan untuk kepentingan bangsa menjadi pondasi utamanya. Sekali lagi, kami hanya memaksimalkan fungsi dan peran pelajar yang adalah pilar utama laju demokrasi, sehingga harapan terbesar bagi rakyat Indonesia yaitu sebagai penyambung lidah dapat dipenuhi, yaitu dengan saran dan kritik.

Liebe Gruesse,

J. Sihotang