Rabu, 11 Januari 2012

Pengungsi Palestina Akibat Konflik


By. Josua Sihotang
10 Jan 2012



Di bulan Mei 1948 populasi lokal Arab bergabung dengan 7 negara-negara Arab (Lebanon, Siria, Mesir, Yordania, Irak, Arab Saudi dan Irak) sebagai aksi untuk  menghancurkan pendirian kembali negara baru Yahudi.
Negara-negara tersebut menjanjikan kemenangan bagi penduduk lokal Arab tersebut yang pada kenyataannya berakhir dengan kekecewaan. Sekitar 500 ribu penduduk Arab itu mengungsi ke Yordania, Lebanon dan Siria.

Angka itu tidak sebanding dengan jumlah 850 ribu pengungsi Yahudi dari Yaman, Mesir, Iran, Irak, Maroko, Algeria, Tunisia dan Libia yang dipaksa keluar dari rumahnya. Yahudi tidak diakui kewarganegaraannya, hingga milik properti mereka juga ikut disita.

Kebalikannya, 160 ribu penduduk Arab saat itu disaat Israel diakui kedaulatannya di tanah mereka justru diperbolehkan menetap. Angka itu kini telah mencapai 1,25 juta dan memperoleh hak-hak penuh sebagai warganegara yang tinggal di Israel.

Kini justru muncul pertanyaan, pernahkah kita mendengar "kampung pengungsi Yahudi"?
Sepertinya tidak. Karena mereka diterima di negara-negara non Arab seperti USA dan Eropa. Kontras dengan keadaan pengungsi-pengungsi Palestina yang tidak diterima baik di negara-negara Arab lain. Jumlah 500 ribu itu kini membengkak hingga 4,7 juta. Faktanya sangat menyedihkan, misalnya ; tidak menerima status warganegara (kecuali di Yordania), dihalang-halangi untuk bekerja sebagai profesional, restriksi akan kepemilikan properti tanah, restriksi berkendaraan dan penolakan akan pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Sir Alexander Galloway (1895-1977), mantan direktur UNRWA (Badan untuk pengungsi Palestina) di Yordania bereaksi keras terhadap diskriminasi ini,
"...bangsa-bangsa Arab tidak ingin menyelesaikan masalah pengungsi Arab. Mereka ingin membiarkannya sebagai 'luka terbuka' sebagai senjata untuk melawan Israel.." (April 1952)
Pernyataan itu semakin diperkuat oleh Presiden Mesir Nasser, yang menganggap penolakan pengungsi-pengungsi Palestina itu akan memaksa mereka kembali ke Israel, sehingga akan menjadi benalu dan merusak Israel dari dalam dengan menanamkan rasa kebencian di setiap generasi pengungsi,
"..jika pengungsi-pengungsi itu kembali ke Israel, Israel akan habis.." (1 Sep 1960)

Lalu apa peran PBB saat itu? Sayangnya nyaris tidak ada. Di saat semua kasus yang berhubungan dengan pengungsi berada di bawah naungan UNHCR, badan khusus untuk pengungsi Palestina UNRWA justru dibentuk. Dengan harapan para pengungsi Palestina mendapat jaminan kehidupan baru dari UNRWA seperti yang dilakukan UNHCR terhadap pengungsi-pengungsi Bosnia atau Sudan malah berujung kekecewaan.
Misalnya;
  • Melalui UNHCR status pengungsi akan berubah menjadi warganegara di negara yang menerima, melalui UNRWA sebaliknya
  • Melalui UNHCR, para pengungsi tidak dapat mewariskan status pengungsi dari generasi ke generasi, melalui UNRWA bisa
  • UNHCR mendukung pengungsi untuk berintegrasi di negara yang baru, UNRWA justru mencegah kebijakan tersebut
Di lain hal, sebelum pembentukan PA(Palestinian Authority), negara-negara Arab menunjuk ke dilema pengungsi Palestina sebagai simbol konflik, menggunakannya sebagai perangkat untuk mengalihkan perhatian dari kelemahan domestik mereka. Gagasan pengembalian penuh ke rumah mereka telah tertanam dalam jiwa pengungsi Palestina. Hari ini, dengan generasi ketiga dari pengungsi Palestina menuntut pengembalian penuh, masalah ini semakin campur aduk. Sedangkan pada tahun 1950, hanya ada lebih dari 700.000 pengungsi yang terdaftar, sekarang jumlah ini hampir lima juta.

Jika pengembalian penuh itu terjadi, para pengungsi ditambah warga Palestina Israel akan melebihi jumlah Yahudi Israel. Meskipun dalam negosiasi sebelumnya dengan Israel, Palestina menerima kembalinya sejumlah pengungsi di bawah reunifikasi keluarga, mereka tetap dituntut untuk mempertahankan prinsip "hak untuk kembali" dalam setiap perjanjian damai. Khawatir bahwa suatu hari nanti dapat menghidupkan kembali Palestina isu "hak untuk kembali", Israel terus menolak setiap referensi untuk itu untuk memastikan mayoritas Yahudi yang berkelanjutan dan mempertahankan identitas negara Yahudi.

Dengan biaya pengeluaran yang 3 kali lebih besar dari UNHCR, UNRWA praktis tidak menyumbangkan solusi atau kontribusi bagi jutaan pengungsi. Ironis bagi pengungsi-pengungsi Arab abad 20 ini, di saat mereka terjebak antara kepentingan pemimpin-pemimpin Arab yang menolak saudara-saudara mereka sendiri dan UNRWA yang tidak bersandar kepada prinsip universal terhadap para pengungsi.

Inikah keadilan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar