Rabu, 17 April 2013

Sukses Namun Tidak Bahagia

By. Josua Sihotang
16 April 2013
Sumber : Suddeutsche



Mereka hidup jauh lebih baik dari kebanyakan anak-anak di seluruh dunia, dengan gizi yang lengkap dan pembinaan sejak usia dini yang terarah, namun masih tidak cukup. Mereka merasa tidak bahagia! Dampak kemajuan teknologi atau tuntutan pergeseran sosio kultur?



Demikian sebuah studi yang disampaikan UNICEF - organisasi PBB untuk anak-anak - pada minggu lalu. Sebuah berita yang cukup miris bagi negara Jerman yang menganggap bahwa situasi yang menyangkut generasi muda terus diawasi dan diperbaiki. Satu dari 7 anak-anak Jerman menilai situasi kehidupan mereka antara biasa-biasa saja hingga negatif. Terdapat gap yang besar antara kondisi hidup eksternal dan kepuasan hidup.

Faktor penilaian terhadap kualitas hidup; seperti kemiskinan, kesehatan atau pendidikan; Jerman berada pada posisi ke-6, naik dari posisi ke-8 di tahun 2010. Jika dinilai dalam 5 parameter utama, yaitu pendidikan, kesehatan dan jaminan hidup, resiko dan perilaku, tempat tinggal, lingkungan, Jerman naik dari peringkat 8 ke peringkat 6. Berdasarkan skor Pisa-Test, anak-anak sekolah di Jerman memiliki penilaian yang lebih baik dibandingkan negara-negara industri lainnya dan lebih sedikit menjadi perokok. Kehamilan usia dini yang biasanya terjadi pada tingkat ekonomi bawah mengalami penurunan ke posisi 11.





Secara keseluruhan, survey yang dilakukan terhadap 176000 anak-anak usia 11-15 tahun yang diambil secara acak dari 29 negara-negara Eropa ini menempatkan Jerman di peringkat 22, jauh menurun dibandingkan tahun 2007 yang berada di posisi ke-12.

Posisi pertama ditempati Belanda dan posisi terakhir Rumania. Yang sangat mengejutkan justru yang dialami oleh negara-negara adidaya seperti Amerika di posisi ke-23. Mungkin saja hal tersebut akibat krisis ekonomi sejak tahun 2008, namun sebaliknya negara Spanyol berada di posisi ke-3 disusul Yunani di posisi ke-5 dan Portugal di tempat ke-21. Seperti diketahui, ketiga negara tersebut mengalami kebangkrutan yang paling parah diantara negara-negara anggota Euro Union. Adakah faktor ekonomi mempengaruhi dilema ini?
Mengapa anak-anak Jerman merasa begitu tidak bahagia padahal secara teknologi saat ini mereka tak akan kehabisan akal untuk memanfaatkan fasilitas yang ada?


Situasi Kritis Bagi Orangtua Tunggal

Kekawatiran ini dilayangkan Hans Bertram, salah seorang anggota Komite Unicef Jerman dan juga seorang Profesor dari Berliner Humboldt-Universitaet: "Anak-anak Jerman menggambarkan situasi mereka sangat buruk, membuat kita harus berpikir keras dan bertanya-tanya. Terus berkonsentrasi pada prestasi dan kesuksesan formal menjadi penyebab utama, sehingga anak-anak dan para remaja merasa terabaikan. Lembaga sumber daya kita jelas gagal untuk memberi harapan dan prospek anak-anak tersebut suatu partisipasi yang layak dan setara."

Penulis dari studi ini memandang masalah ini tidak bisa ditinjau dari prestasi formal saja. Sejumlah besar orang-orang muda merasa tertutup dan tidak ada keinginan untuk membaur dalam suatu komunitas. Dr. Juergen Heraeus, kepala Unicef untuk Jerman berkata, "Studi ini menunjukkan bahwa politik tidak bisa mengabaikan data-data yang ada. Kita harus lebih lagi memperhatikan anak-anak dan memberi kesempatan yang banyak untuk membuka diri."

Sebagai kesimpulan dari analisa tersebut, Kinderhilfswerk (badan publik sosial untuk anak-anak) menuntut pemerintah federal mempromosikan kesehatan yang memadai bagi anak-anak, memperkuat hak-hak untuk anak dan berjuang melawan garis kemiskinan anak. Kebijakan itu secara spesifik harus mendukung keluarga yang lemah ekonominya terutama mereka yang orangtua single.

Akan tetapi, Politik, Media dan Riset Anak-Anak tidak bisa mengevaluasi hanya dari perspektif dari prestasi mereka. Kesejahteraan anak-anak harus ditunjang melalui prinsip dari kebijakan nasional, negara bagian dan organisasi publik, demikian ditulis Hilfswerk di website mereka.


Perbandingan Dengan Negara Eropa Lain

Di lain hal, orangtua di Jerman tidak tahu bagaimana menantang kultur materialis yang mereka lihat di sekitarnya. Kontras dengan keluarga-keluarga di negara Swedia dan Spanyol.
Salah satu alasan prestasi anak-anak di kedua negara ini lebih baik, berdasarkan Studi Unicef di tahun 2011, adalah bahwa kedua negara tersebut "memproteksi waktu keluarga" dan anak-anak "punya waktu aktivitas bersama."
Di Swedia, kebijakan sosialnya mengijinkan waktu keluarga dan kulturnya semakin diperkuat. Di Spanyol, bapak-bapak bekerja sepanjang waktu, akan tetapi keluarga masih tetap sangat penting dan para ibu tinggal di rumah untuk mengurus anak-anak.

Beberapa laporan berargumen bahwa kombinasi antara tekanan dari lingkungan kerja dan materialismus merusak kondisi mental anak-anak, "mereka ingin atensi kami tetapi kami memberi mereka uang." 
sial dan psikologi Jerman juga angkat bicara. Mereka mendasari masalah ini akibat kurangnya waktu di dalam keluarga. Fasilitas-fasilitas teknologi seperti komputer dan smartphone lebih mendominasi waktu anak-anak yang seharusnya digunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga. Ada juga yang menganggap situasi di sekolah membuat mereka tidak puas, karena materi pelajaran dan tugas-tugas rumah yang begitu banyak. Namun ada satu alasan yang menarik yang disampaikan Dr. med. Michael Winterhoff, seorang psikiater anak-anak dan remaja. "Mayoritas anak-anak saat ini berkembang sejak usia dini. Anda bisa mendapatkan semuanya tanpa harus bekerja. Hasilnya, mereka juga belajar untuk merasa puas ketika mereka telah mencapai suatu goal."

Kesimpulannya, sepertinya, adalah bahwa orangtua terlalu sedikit memberi waktu dalam keluarga dan terlalu banyak pada bentuk materi. Unicef menggambarkan sebuah bentuk dari suatu negara yang punya prioritas salah, menukar waktu yang berkualitas dengan anak-anak untuk "laci yang penuh dengan mainan-mainan mahal yang tidak dipakai." 
Para orangtua di Jerman ingin menjadi orangtua yang baik, tapi tidak tahu bagaimana. Mereka merasa tidak punya waktu  dan kadangkala tidak ada pengetahuan mendidik anak, dan bahkan mencoba mengkompensasinya dengan cara membeli barang-barang teknologi dan pakaian.
Dengarkan uraian kebanyakan anak-anak yang diinterview, bahwa barang-barang material tidak membuat mereka bahagia!

Dilema ini juga terjadi di seluruh negara maju, dan bahkan mulai dialami di negara-negara berkembang. Dengan kemajuan peradaban teknologi dan pergeseran nilai-nilai budaya akan mengakibatkan anak-anak generasi sekarang terjebak dalam suatu siklus dari konsumsi kompulsif sebagaimana para orangtua memandikan mereka dengan hadiah-hadiah sebagai ganti waktu yang tersita di pekerjaan.


Anak Adalah Tanggung Jawab Orangtua


Sebagian besar orang percaya bahwa anak-anak dianugerahkan Tuhan kepada kita sebagai harta yang harus dipelihara, sebagai milik pusaka. Kualitas manusia tergantung dari kemampuan orangtua mengembangkan kepribadian sejak kecil. Sikap yang penuh peduli, tanggung jawab, disiplin, murah hati dan respek adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan kepada anak-anak dimana hanya orangtua yang bisa melakukannya. Di sini mungkin juga celah permasalahannya. Di Jerman, seorang anak benar-benar dilindungi hak-haknya. Jika ia mengalami tindakan fisik dari orangtua, ia bisa mengadukannya ke Badan Perlindungan Anak (Kindesamt) dan meminta perlindungan penuh dari pemerintah. Sejak itu pemerintah akan mengambil alih peran orangtua. Akan tetapi bisakah tali cinta kasih yang mengalir dalam darah dapat digantikan orang lain? Sebaliknya di Indonesia, akibat tuntutan ekonomi kedua orangtua harus merelakan waktunya di luar rumah, sehingga peran orangtua justru diambil alih oleh nenek atau bahkan pembantu.

Pentingnya orangtua mencurahkan energi dan cinta untuk membesarkan anak-anak mereka sudah pasti diterima oleh seluruh lapisan pemerintah dan seluruh spektrum, akan tetapi memaksimalkan pendapatan dan mendorong konsumsi dianggap sebagai komponen yang juga penting bagi pertumbuhan ekonomi bangsa dan masyarakat. Jika 20 tahun yang lalu seorang pekerja biasa memanfaatkan waktu efektivitas kerjanya selama 8 jam perhari, saat ini bisa mencapai 10 jam, itupun belum dihitung di akhir minggu.
Jadi, siapkah kita menerima pergeseran kultur ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar