Rabu, 10 Agustus 2011

Daniel atau Denial?


By. Steve Herzig
9 Agustus 2011
IMG



  Walaupun text dari buku Daniel sama buat Kristiani dan Yahudi, perbedaan mendalam eksis dalam interpretasinya. Jika dimengerti secara harfiah dan historis, buku tersebut mudah dipahami. Jika tidak, kekuasaan Tuhan akan dunia hanya berupa dongeng belaka.

  Ceritanya simpel: Sekitar abad ke-6 B.C., Raja Nebukadnezar dan orang Babylon mengambil orang-orang Yahudi sebagai tahanan. Adalah seorang anak mudah bernama Daniel yang tetap teguh berdiri dan beriman kepada Tuhan ayahnya. Kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk memberitahu dan menginterpretasi mimpi, ia gunakan bagi Nebukadnezar dan ia dipromosikan ke posisi tinggi dan berkuasa di pemerintahan. Ia berotoritas di seluruh kerajaan Babylon dan kemudian Persia.
  Daniel juga menerima visi kewahyuan dari Tuhan, memberi pengertian akan Mesias Israel, sejarah dunia dan Kerajaan seribu tahun yang akan datang.

  Sebagai Kristiani, kita menerima anggapan, melihat Daniel sebagai seorang nabi seperti Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel. Kita percaya buku tersebut adalah krusial untuk mengerti Yesus dan kedatanganNya yang kedua kali, dan kita melihat hal itu sebagai kunci pengertian akan buku Wahyu.

  Interpretasi Yahudi agak berbeda. Komentar yang diakui (Midrash) lebih penting daripada text itu sendiri. Karena porsi kewahyuan dari text tersebut diasosiasikan dengan ajaran Kristiani, interpreter Yahudi membuang implikasi kewahyuannya.: "Daniel dianggap sebagai seorang nabi di Qumran dan dimanapun di awal Yudaisme (Josephus, Antiquities 10.266-68), tetapi karena penggambaran lebih dahulu dari kebangkitan Kristus dan Kristen terlihat di Daniel oleh gereja mula-mula, tradisi kerabian ragu-ragu untuk meyakini visi Daniel.

  Penempatan Daniel di Alkitab Yahudi juga digunakan untuk menjustifikasi interpretasi non harfiah. Skript Yahudi dibagi menjadi 3 bagian: Taurat (Hukum), Neviyim (Nabi), dan Ketuvim (Penulisan). Ketuvim terdiri atas Mazmur, Kidung Agung, Ruth, Ester, Ezra, Nehemiah, 1 dan 2 Tawarikh dan Daniel. Kebanyakan Yahudi memandang penulisan itu kurang inspirasi dibandingkan Hukum atau atau Nabi-Nabi. Konsekuensinya, Ruth, Ester dan Daniel dianggap fiktif.

  Ahli-ahli Yahudi yang menganggap Daniel sebagai pewahyu percaya bahwa buku itu ditulis selama periode Maccabi, bukan di tahun 537 B.C., kira-kira 375 tahun lebih awal, yang dipercayai ahli-ahli evangelis. Pada tahun tersebut mustahil terjadi bagi Daniel untuk menulis buku tersebut dan meramal tentang Antiochus IV (Dan. 11:21-35) ke sejarah masa silam. Alkitab Pelajaran Yahudi bicara tentang penulis anonim.

  Dalam usaha untuk menjelaskan pengertian yang sulit dari text itu, pasal 1 hingga 6 dianggap "legenda" dari "perjalanan dari pahlawan Yahudi", padahal pasal 7 hingga 12 bicara tentang visi kewahyuan, "Wahyu dari kejadian-kejadian itu yang mengarah ke akhir perubahan besar dan sejarah transformasi."
Asumsinya terlihat seperti, Daniel berbuat bak seorang nabi; tetapi karena ia tidak dapat menjadi seorang nabi, isi dari buku harus dijelaskan dengan cara lain.

  Sebagai respon dari kurangnya pengetahuan dari inspirasi keilahian akan Firman, seorang wanita Yahudi bertanya, "Apa gunanya membaca Alkitab jika kitab itu sama dengan kitab lain?" Sebuah pertanyaan fair. Kefrustasiannya adalah dengan penolakan Yahudi akan keotentikan text.

  Firman Tuhan tidak terukur waktu dalam aplikasi personalnya. Itu karena: Firman yang datang dari Tuhan. Kita seharusnya membiarkan firman menyesuaikan kita dan kita harus sesuai dengan itu, bukan menyesuaikan text untuk menyesuaikan diri dengan kita.

Tuhan Yesus Memberkati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar